Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma.
Kata toraja berasal dari
bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri
atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Sebelum abad ke-20, suku
Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum
tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang
dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun
1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana
Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari
masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang
mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.
Suku Toraja memiliki sedikit
gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum
abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja,
yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan
tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek,
hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi
Sulawesi. "Toraja"
(dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama
kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi.
Akibatnya, pada awalnya
"Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang
luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian
besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran
etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki
empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku
Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan
pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
Dulu ada yang mengira bahwa
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat
asal suku Toraja.
Sebetulnya, orang Toraja
hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut
tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda
mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan
wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena
sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad
ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi
selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku
Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda.
Selain menyebarkan agama,
Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja
awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.
Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru
datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur
perdagangan budak yang menguntungkan Toraja.
Beberapa orang Toraja telah
dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah
diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja
yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran
rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang
ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965
setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah
dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah
satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan
Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku
Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan
hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Sebuah perkampungan suku
Toraja
Keluarga adalah kelompok
sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga
besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa.
Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu
keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan
kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan
sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung
secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota
dari keluarga ibu dan ayahnya.
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal
dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak
diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat
yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas
nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan
resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan
pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain.
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi
dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam
hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan
menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk,
piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Kelas sosial / stratifikasi Sosial
Tana Bulaan ( Bangsawan / darah Biru )
Tana Basi ( Kelas Menengah / Bangsawan menengah)
Tana Karurung ( Orang Awam )
Tana Kua Kua ( Budak )
Dalam masyarakat Toraja
awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan
kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada
tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui
ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang
dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).
Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan
mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan.Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat
Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi
budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak
bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli
kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak
tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman
bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan
tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut
aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").
Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan
tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan
Puang Matua, dewa pencipta.
Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi
dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya,
surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk
persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo
Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang
kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun
dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan
hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan
ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa
lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah
mulai jarang dilaksanakan.
Tiga tongkonan di desa
Toraja.
Tongkonan Layuk
tongkonan Pekamberan / Pekaindoran
Tongkonan sanda ariri
tongkonan barung barung
(tandilinting )
Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun
di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah
pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi,
yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di
Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun
tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
Bahasa Toraja hanya
diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan
dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau
atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau.
Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan
adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban
merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah),
selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan
sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan
geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran
ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.
Tempat penguburan Toraja
yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja,
upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal.
Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan
semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri
oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini
kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga
yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia
arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan
beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya
tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman
adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak
kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya,
yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di
Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda
yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman:
Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota
keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan
menghadap ke luar.Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi
tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian
dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut
Ma'badong).
Ritual tersebut dianggap
sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman,
Tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar
dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.
Tarian
Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju
rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak
lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan
pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat
agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.
Tarian
Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras
Ada beberapa tarian perang,
misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh
tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku
Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama
mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional
Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini
dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini
dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku
jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle
yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa
yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang
utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan
oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar
di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja
antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan,
dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30]
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak
dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di
Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain
melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu
adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
RambuSolo dalah upacara adat
kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untukmenghormati dan menghantarkan
arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,yaitu kembali kepada keabadian
bersama para leluhur mereka di sebuah tempatperistirahatan. Upacara ini sering
juga disebut upacara penyempurnaan kematiankarena orang yang meninggal baru
dianggap benar-benar meninggal setelah seluruhprosesi upacara ini digenapi.
Jika belum, maka orang yang meninggal tersebuthanya dianggap sebagai orang
sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukanseperti halnya orang hidup,
yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberihidangan makanan dan minuman bahkan
selalu diajak berbicara.
Puncak dari upacara Rambu
solo ini dilaksanakandisebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat
beberapa rangkaian ritual,seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan
ornament dari benang emas danperak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke
lumbung untuk disemayamkan, danproses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir.
Selain itu, dalam upacara
adat ini terdapatberbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu
kerbau,kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum
disembelih,dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian
Toraja.
Kerbau yang disembelih
dengan cara menebas leherkerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri
khas masyarakat TanaToraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar
kerbau biasa, tetapikerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10
50 jutaatau lebih per ekornya.
Upacara
Rambu Solo, Pemakaman Khas Toraja
Tana Toraja memang terkenal
dengan keunikan kebudayaannya. Salah satu budaya Toraja yang unik adalah
upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo. Rambu Solo adalah suatu prosesi
pemakaman masyarakat Tana Toraja, yang tidak seperti pemakaman pada umumnya.
prosesi upacara rambu
soloMelalui upacara Rambu Solo inilah, bisa Anda saksikan bahwa masyarakat Tana
Toraja sangat menghormati leluhurnya. Prosesi upacara pemakaman ini terdiri dari beberapa susunan acara. Dimana
dalam setiap acara tersebut Anda bisa menyaksikan nilai-nilai kebudayaan yang
sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat Tana Toraja.
Prosesi
Upacara Pemakaman
Secara garis besar upacara
pemakaman terbagi kedalam 2 prosesi, yaitu Prosesi Pemakaman (Rante) dan
Pertunjukan Kesenian. Prosesi-prosesi tersebut tidak dilangsungkan secara
terpisah, namun saling melengkapi dalam keseluruhan upacara pemakaman.
Prosesi Pemakaman atau Rante
tersusun dari acara-acara yang berurutan. Prosesi Pemakaman (Rante) ini
diadakan di lapangan yang terletak di tengah kompleks Rumah
Adat Tongkonan.
Acara-acara tersebut antara lain :
-Ma’Tudan Mebalun, yaitu
proses pembungkusan jasad
-Ma’Roto, yaitu proses
menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak.
-Ma’Popengkalo Alang, yaitu
proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk
disemayamkan.
-Ma’Palao atau Ma’Pasonglo,
yaitu proses perarakan jasad dari area Rumah Tongkonan ke kompleks pemakaman
yang disebut Lakkian.
Prosesi yang kedua adalah
Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini dilaksanakan tidak hanya untuk memeriahkan
tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang yang sudah
meninggal. Dalam Prosesi Pertunjukan kesenian Anda bisa menyaksikan:
-Perarakan kerbau yang akan
menjadi kurban
-Pertunjukan beberapa musik
daerah, yaitu Pa’Pompan, Pa’Dali-dali, dan Unnosong.
-Pertunjukan beberapa tarian
adat, antara lain Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’katia, Pa’Papanggan,
Passailo dan Pa’Silaga Tedong.
-Pertunjukan Adu Kerbau,
sebelum kerbau-kerbau tersebut dikurbankan.
-Penyembelihan kerbau
sebagai hewan kurban.
-Penyempurnaan Kematian
upacara rambu soloDalam adat
istiadat Tana Toraja, masyarakat mempercayai bahwa setelah kematian maih ada
sebuah ‘dunia’. ‘Dunia’ tersebut adalah sebuah tempat keabadian dimana arwah
para leluhur berkumpul. Serta merupakan tempat peristirahatan. Masyarakat
Toraja menyebutnya Puya, yang berada di sebelah Selatan Tana Toraja. Di Puya
inilah, arwah yang meninggal akan bertranformasi, menjadi arwah gentayangan
(Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata).
Masyarakat Toraja mempercayai bahwa wujud transformasi tersebut tergantung dari
kesempurnaan prosesi Upacara Rambu Solo. Oleh karena itu, Rambu Solo juga
merupakan upacara penyempurnaan kematian.
Selain itu, Rambo Solo
menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan. Karena hanya dengan cara
Rambu Solo, arwah orang yang meninggal bisa mencapai kesempurnaan di Puya. Maka
keluarga yang ditinggalkan akan berusaha semaksimal mungkin menyelenggarakan
Upacara Rambu Solo. Akan tetapi, biaya yang diperlukan bagi sebuah keluarga
untuk menyelenggarakan Rambu Solo tidaklah sedikit. Oleh karena itu, upacara
pemakaman khas Toraja ini seringkali dilaksanakan beberapa bulan bahkan sampai
bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.
Bukan
meninggal, tetapi sakit
Masyarakat Tana Toraja
mempercayai bahwa Rambu Solo akan menyempurnakan kematian seseorang. Oleh
karena itu, mereka juga beranggapan bahwa seseorang yang meninggal dan belum
dilaksanakan Upacara Rambu Solo, maka orang tersebut dianggap belum meninggal.
Orang ini akan dianggap bahkan diperlakukan seperti orang yang sedang sakit
atau dalam kondisi lemah.
Orang yang dianggap belum
meninggal ini, juga akan diperlakukan seperti orang yang masih hidup oleh
anggota keluarganya. Misalnya dibaringkan di ranjang ketika hendak tidur,
disajikan makanan dan minuman, dan diajak bercerita dan bercanda seperti
biasanya, seperti saat orang tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan oleh semua
anggota keluarga, bahkan tetangga sekitar terhadap orang yang sudah meninggal
ini.
perlengkapan upacara rambu
soloMaka untuk menggenapi kematian orang tersebut, pihak keluarga harus
menyelenggarakan Rambu Solo. Oleh karena biaya yang tidak sedikit, maka pihak
keluarga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman.
Biaya untuk menyelenggarakan Upacara Rambu Solo berkisar antara puluhan juta
sampai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya mengapa di Tana Toraja orang yang
meninggal, baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya.
Upacara pemakaman adat di
Tana Toraja memang tergolong unik. Keunikannya bahkan sudah terkenal sampai ke
mancanegara. Ritual adat pada setiap prosesinya penuh dengan makna. Sehingga
ketika Anda berkunjung ke Tana Toraja untuk menyaksikan ritual pemakaman ini,
akan ada banyak hal yang mengagumkan. Namun satu hal yang akan membuat Anda
cukup kaget, yaitu biaya penyelenggaraan Rambu Solo.
perarakan rambu solo ke
LakkianSeperti yang sudah Anda ketahui bahwa ritual pemakaman masyarakat Toraja
biasanya dilaksanakan berbula-bulan bahkan bertahun-tahun setelah kepergian
seseorang. Waktu yang lama tesebut dikarenakan anggota keluarga almarhum
membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana yang cukup banyak. Nah, tahukan Anda
berapa jumlah biaya yang dikeluarkan keluarga untuk melaksanakan Upacara
Pemakaman Rambu Solo? sebuah Upacara Rambu Solo bisa mencapai 4-5 miliyar
rupiah. Rata-rata Rambu Solo diselenggarakan dengan biaya ratusan juta rupiah.
Rambu Solo bukan upacara
pemakaman. Dalam upacara pemakaman ini banyak sekali hal-hal yang menjadi
persyaratan dan pendukung sebuah Rambu Solo yang ideal.
Kerbau Kurban
kerbau tedong acara rambu
solo Salah satu persyaratan dalam menyelenggarakan Rambu Solo adalah hewan
kurban berupa kerbau dan babi. Bagi masyarakat Toraja, kerbau adalah hewan
suci. Dalam Upacara Rambu Solo, kerbau menjadi aspek yang utama. Menurut
keyakinan masyarakat Toraja, kerbau merupakan hewan yang akan menghantarkan
arwah orang yang meninggal ke Puya. Semakin banyak kerbau yang dikurbankan,
maka arwah orang yang meninggal akan semakin cepat mencapai Puya.
Kerbau yang dikurbankan pun
bukan sembarang kerbau. Kerbau yang akan dikurbankan dalam Upacara Rambu Solo
adalah Tedong Bonga (kerbau bule) Belang, dari jenis Bubalus bubalis yang biasa
dikenal sebagai kerbau lumpur. Kerbau ini mempunyai ciri albino (bule) dan
warna kulit yang belang. Harga seekor
kerbau ini sekitar 20-50 juta rupiah. Namun untuk kerbau yang spesial, harganya
bisa mencapai sekitar 600 juta rupiah.
Sedangkan untuk jumlah
kerbau yang akan dikurbankan pada Rambu Solo ini, tergantung dari strata sosial
keluarga yang berduka. Semakin tinggi strata sosial sebuah keluarga, semakin
banyak pula jumlah kerbau yang dikurbankan. Untuk keluarga dengan strata sosial
menengah, biasanya kurbau yang dikurbankan sebanyak 8-10 ekor ditambah babi
sebanyak 30-50 ekor. Namun untuk keluarga dari kalangan bangsawan, kerbau yang
dikurbankan berjumlah sekitar 25-150 ekor. Dengan demikian tidak mengherankan
jika biaya yang digunakan untuk melaksanakan Rambu Solo bisa mencapai 4-5
miliyar rupiah. Sebagian besar dari biaya tersebut digunakan untuk membeli
persyaratan hewan kurban ini.
Kerbau-kerbau yang menjadi
kurban Upacara Rambu Solo ini, akan diarak keliling desa terlebih dahulu
sebagai bentuk penghormatan. Kemudian menjelang sore akan diadakan pertarungan
kerbau. Setelah acara tersebut baru kemudian kerbau-kerbau ini disembelih.
Daging kerbau-kerbau tersebut kemudian dibagikan kepada orang-orang yang telah
membantu proses pelaksanaan Rambu Solo.
Selain persyaratan hewan
kurban, beberapa hal yang menjadi kewajiban dalam Upacara Rambu Solo Tana
Toraja Sulawesi adalah pernak-pernik perhiasan. Sebagai contoh, peti jenazah
biasanya dihias dengan kain adat, juga tali dan pernak-pernik dari emas dan
perak. Tak hanya itu, di dalam peti jenazah juga akan diletakkan berbagai
barang sebagai “bekal perjalanan” menuju Puya. Barang-barang tersebut berupa
pakaian, bermacam-macam perhiasan, dan sejumlah uang. Tidak hanya bekal milik
jenazah, bekal untuk anggota keluarga yang sudah lama meninggal juga dititipkan
para jenazah yang baru saja meninggal ini.
Barang-barang tersebut
merupakan persyaratan dalam Upacara Rambu Solo, sebagai persembahan dan
pembekalan kepada almarhum agar bisa melakukan perjalanan ke Puya.
Setelah melewati Upacara
Rambu Solo, almarhum akan diarak dan diantar ke pemakaman yang terletak di
dinding tebing. Biasanya akan dibentangkan kain merah yang panjang, dengan peti
jenasah berada di paling belakang. Tak hanya dari pihak keluarga saja, seluruh
masyarakat desa akan turut berjalan mengantarkan jenazah sampai ke Lakkian.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja